Definisi Puasa

Definisi Puasa

Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, serta al-Hâfidz Ibn Hajar al-Asqalâni dalam Fath al-Bârî, puasa secara bahasa mengandung pengertian al-imsak (menahan diri). Sedangkan menurut pengertian syari’at, puasa adalah menahan makan dan minum serta yang membatalkannya, pada waktu, dan dengan syarat-syarat yang bersifat khusus. Dengan kata lain, puasa secara syar’i adalah, “Menahan diri dari makan, minum, jima’ dan lain-lain yang kita diperintahkan untuk mendahan diri daripadanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyari’atkan; disertai dengan menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan yang merangsang, perkataan yang diharamkan dimakruhkan menurut syarat-syarat dan waktu yang telah ditetapkan.

Ibadah puasa disyari’atkan sejak bulan Ramadhan tahun ke 2 hijrah.

Rukun Puasa

a. Niat

Niat merupakan rukun puasa, sebagaimana firman Allah SWT:

Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlashkan ibadah kepadaNya.” (Qs. al-Bayyinah [98]: 5).

Rasulullah Saw bersabda:

Amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.

Orang yang berpuasa wajib berniat puasa di malam harinya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak ada  puasa baginya.

Ibn Umar, Jabir bin Yazid dari golongan shahabat, al-Nashir, al-Muayyid Billah, Imam Malik, al-Laits, dan Ibn Abi Dzaib, mewajibkan niat pada malam hari tanpa membedakan puasa wajib (Ramadhan dan tathawwu’ [Sunnah]). Sedangkan Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, al-Hadi, dan al-Qasim, mengharuskan niat pada malam hari khusus untuk puasa fardhu (Ramadhan), tidak untuk puasa sunnah. Mereka menyatakan bahwa puasa tidak sah bila tidak ada niat pada malam hari.

Bila seseorang lupa tidak berniat puasa di malam harinya, maka ia harus segera menetapkan niatnya tatkala ia ingat. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Dan tidak ada dosa atas kamu mengenai pekerjaan-pekerjaan yang kamu kerjakan karena silap, hanya disalahkan kamu terhadap perkara-perkara yang kamu kerjakan dengan sengaja.” (Qs. al-Ahzab [33]: 5).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

Telah diangkat dari ummatku dosa karena mengerjakan sesuatu lantaran lupa, karena kelupaan dan karena dipaksa.” [HR. Ibn Mâjah, ath-Thabarani, dan al-kim].

Niat harus dilakukan pada setiap malam bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibn Mundzir. Sedangkan Imam Malik, Ishaq, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa niat puasa sah untuk puasa selama satu bulan. Menurut Imam asy-Syaukani, pendapat Syafi’i lebih kuat. Sebab, puasa merupakan ibadah khusus yang waktunya dibatasi.

Apakah sah puasa diniatkan pada siang hari untuk puasa besok harinya. Imam Abu Hanifah menyatakan, “Sah puasa Ramadhan dan puasa yang ditetapkan dengan berniat pada siang harinya.”

b. Menahan Diri Dari Hal-Hal yang Membatalkan Puasa

Diwajibkan menahan dari semua hal yang dapat membatalkan ibadah puasa; semisal makan, minum, muntah dengan sengaja, dan bersetubuh, atau mengeluarkan air mani dengan sengaja. Allah SWT berfirman:

Dan makan serta minumlah kamu hingga nyata kepadamu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari, dan janganlah kamu menyetubuhi mereka (isteri-isterimu) sedang kamu lagi beri’tikaf dalam mesjid.” (Qs. al-Baqarah [2]: 187).

Muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

Barangsiapa terpaksa muntah sedang dia berpuasa, maka tak ada qadha’ atasnya, tetapi barangsiapa muntah dengan sengaja munta maka wajiblah atasnya qadha’.

Syarat Wajib Puasa

Puasa diwajibkan bagi; (1) Islam, (2) Baligh, (3) Berakal, (4) Suci dari haid dan nifas (bagi wanita), (5) Muqim, dan tidak sedang safar, (6) Sanggup berpuasa.

a. Islam

Orang kafir tidak diwajibkan berpuasa, sebab, puasa merupakan ibadah yang disyaratkan di dalamnya keIslaman. Apabila seorang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, maka ia wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Jika ia masuk Islam pada siang hari (semisal jam 13.00 wib), maka mulai saat itu ia imsak (menahan diri untuk tidak mengerjakan perbuatan yang dapat membatalkan puasa), hingga datang saat Maghrib. Ini juga berlaku bagi seseorang yang murtad dari Islam, kemudian ia kembali masuk Islam pada saat bulan Ramadhan. Dan ia (orang yang murtad tadi) mengqadha’ puasa saat ia murtad. Berdasarkan firman Allah SWT:

Katakanlah kepada orang-orang kafir, ‘Jika mereka berhenti, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu, dan jika mereka kembali lagi maka sungguh berlakulah atas diri mereka sunnah orang-orang yang telah lalu’.” (Qs. al-Anfâl [8]: 39).

b. Baligh

Anak kecil (belum baligh) tidak diwajibkan berpuasa. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

Diangkat kalam dari tiga orang (1) dari anak kecil hingga ia baligh, (2) dari orang gila sampai ia sembuh,(3) dari orang tidur hingga ia bangun.” [HR. Ashhabus Sunan, dan al-Hâkim].

Meskipun demikian, lebih baik anak kecil diajari untuk melakukan ibadah puasa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim:

Rasulullah Saw menyuruh orang-orang pada pagi hari ‘Asyura pergi ke kampung-kampung Anshar untuk menyampakan perintah Nabi, yaitu, ‘Barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berpuasa (belum makan dan minum), maka hendaklah ia sempurnakannya. Dan barangsiapa masuk ke pagi hari dalam keadaan berbuka, maka hendaklah dia berpuasa pada sisa harinya.’ Maka kami para shahabat berpuasa sesudah mendengar perintah itu, dan menyuruh anak-anak kecil berpuasa. Kami pergi ke mesjid dan kami buat untuk anak-anak mainan dari bulu domba. Bila seorang anas menangis untuk meminta makanan, kami berikan mainan itu kepadanya, sehingga sampai waktu berbuka.”

c. Berakal

Orang gila tidak wajib berpuasa. Dia tidak wajib mengqadha’ puasanya tatkala ia masih gila. Sedangkan bila ia sembuh di bulan Ramadhan maka ia wajib melaksanakan puasa, dan imsak di sisa harinya.

d. Suci dari haid dan nifas (bagi wanita)

Wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib mengerjakan ibadah puasa. Namun, bila ia telah suci dari haid atau nifasnya, maka ia wajib mengqadha’ puasa yang ia tinggalkan selama haid dan nifas. Ini didasarkan pada riwayat yang dinyatakan oleh al-Jama’ah dari Mu’adz bahwa ‘Aisyah r.a. berkata:

Adalah kami berhaid di masa Rasulullah Saw, maka kami diperintahkan supaya mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’ sholat.”

Imam Bukhâri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Apakah seseorang kamu (kaum wanita) apabila berhaidl, tiada sholat dan tiada berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.

e. Muqim, dan tidak sedang safar

Orang yang sedang safar (bepergian) tidak diwajibkan berpuasa. Mereka diperbolehkan berpuasa dalam safarnya atau tidak. Bila ia tidak berpuasa dalam safarnya, maka ia wajib mengganti puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan. Allah SWT berfirman:

Barangsiapa sakit di antara kami, atau di dalam perjalanan, maka hendaklah ia menjalankan puasa yang ia tinggalkan di dalam sakit atau safar di hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Rasulullah Saw pernah ditanya oleh salah seorang shahabat —bernama Hamzah Ibn ‘Amr al-Aslami:

Apakah saya berpuasa dalam safar?” Rasulullah Saw menjawab, “Jika engkau mau berpuasalah, jika tidak boleh  juga.” [HR. Jama’ah].

f. Sanggup berpuasa

Puasa tidak diwajibkan bagi orang yang sakit. Akan tetapi bila ia telah sembuh dari sakitnya maka ia wajib mengganti sebanyak hari yang ia tinggalkan. Allah SWT berfirman:

Barangsiapa sakit di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah ia mengerjakan puasanya yang ia tinggalkan dalam sakit atau dalam safar itu, di hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Kata “maridh” di sini berfaedah kepada makna umum, dan tidak disyaratkan sakit keras atau lemah. Demikianlah pendapat Atha’ dan Ahlu al-Dzahir, Bukhâri dan Ibn Sirin.

Orang-orang yang digolongkan sebagai orang yang tidak mampu berpuasa adalah, (1) orang hamil, (2) orang yang sedang menyusui, (3) orang yang sudah sangat tua. Mereka diberi keringanan (rukhshah) untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dengan kompensasi membayar fidyah. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Atas mereka yang tak sanggup berpuasa, kecuali dengan mengalami kesukaran yang sangat,  memberi fidyah sehari seorang miskin.” (Qs. al-Baqarah [2]: 184).

Ibn ‘Abbas berkata, “Ayat ini walaupun dimansukhkan, namun hukumnya tetap untuk orang yang sangat tua, lelaki atau perempuan, yang tidak mampu berpuasa , maka ia harus memberi makan seorang miskin setiap harinya.” [HR. Bukhâri].

Diriwayatkan dari ‘Ikrimah bahwa Ibn ‘Abbas berkata, “Ayat tersebut diberlakukan bagi wanita hamil dan yang sedang menyusui.” [HR. Abû Dâwud].

Hukum ini juga berlaku bagi para pekerja keras, orang terkena penyakit akut (maag) , yang bila ia berpuasa akan menyebabkan dlarar bagi dirinya, atau orang yang menolong orang dari peristiwa yuang mengerikan (kebakaran, tenggelam, dan lain-lain), maka ia boleh berbuka puasa, dan mengqadha’ puasanya di hari yang lain.

Syarat Sah Puasa

Syarat sah puasa ada empat macam, (1) Islam sepanjang hari, (2) Suci dari haid, nifas, dan wiladah., (3) Tamyiz, yakni dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, (4) Berpuasa pada waktunya. Keempat hal inilah yang dapat menjamin shihahnya puasa.

Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 245.

Subulus Salam, jld. 2, hal. 26.

Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 245.

HR. Bukhâri dan Muslim, dari Umar bin Khattab ra.

HR. Abû Dâwud 2454; Ibn Mâjah 1933; al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibn Wahb dari Ibn Lahi’ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibn Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, jld. 1, hal. 54, “Niat di malam hari” dari jalan dirinya sendiri. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban men-shahih-kannya dan me-marfu’-kan hadits ini. Lihat Nailul Authar, Kitab ash-Shiyâm, hal. 255, karya Imam asy-Syaukani. Dan dikeluarkan an-Nasâ’i 4/196, at-Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih.

Idem, hal. 255-256.

Ditulis dalam Ibadah, Puasa. 1 Comment »

Satu Tanggapan to “Definisi Puasa”

  1. Bagong Sri Hardjono Says:

    banyak terikasih atas tulisanya, aku tunggu yang lain yang lebih ensiklopedik.


Tinggalkan komentar